Tanggal 12 April lalu telah menjadi hari bersejarah bagi kita semua. RUU PKS yang sudah digagas sejak 2012 oleh Komnas Perempuan dan diperjuangkan oleh banyak orang, akhirnya disahkan menjadi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Selama 10 tahun, banyak tantangan yang dihadapi dalam mengesahkan rancangan undang-undang tersebut. Adanya penolakan dari kelompok masyarakat tertentu menjadi salah satu tantangan disahkannya peraturan ini. Kita semua tau bahwa pengusutan kasus pelecehan seksual selalu terhambat oleh aturan yang belum sepenuhnya melindungi saksi dan korban. Seringkali laporan tidak diproses lebih lanjut karena lemahnya hukum untuk mencegah dan menangani kasus pelecehan seksual. Meskipun UU TPKS sudah disahkan dan menjadi harapan untuk memberantas kasus pelecehan seksual, ini semua bukanlah akhir dari perjuangan kita. Disahkannya peraturan tersebut merupakan langkah awal bagi kita untuk melawan berbagai bentuk pelecehan seksual.
Tapi, apakah undang-undang ini juga berlaku untuk tindak pelecehan seksual secara verbal?
Pelecehan seksual secara verbal adalah salah satu bentuk pelecehan yang sering terjadi di sekitar kita. Masalahnya, jenis pelecehan ini belum memiliki payung hukum yang dapat melindungi para korbannya. Catcalling, omongan berbau seksual dan komentar yang dilontarkan melalui media sosial pun dianggap sebagai hal yang sepele dan wajar saja dilakukan dengan alasan bercanda. Padahal, tanpa disadari komentar-komentar tersebut dapat berdampak kepada kepercayaan diri korban hingga trauma yang berkepanjangan. Jenis pelecehan seksual secara verbal juga agak sulit dibuktikan. Salah satu caranya adalah dengan menyertakan saksi atau bukti rekaman/screenshot yang menunjukkan tindakan tersebut.
Untungnya, pada UU TPKS yang disahkan kemarin sudah meliputi pelecehan seksual secara verbal yang termasuk pada kategori non fisik dan berbasis online (KSBO). Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan non fisik seperti isyarat/siulan, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan tubuh seseorang dan berbau seksual, dapat dipidana. Hukumannya pun gak main-main, pelaku bisa dikenai pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000. Terkait dengan kekerasan seksual berbasis online, menyebarkan foto/video pribadi seseorang dengan alasan apapun juga bisa terancam hukuman pidana. Perekaman, pengambilan gambar bermuatan seksual, penyebaran informasi/dokumen elektronik di luar kehendak penerima, dan tindakan stalking atau pelacakan digital dicakup dalam pasal mengenai kekerasan seksual berbasis online (KSBO).
Jadi, berdasarkan aturan tersebut, UU TPKS seharusnya bisa menjadi solusi dari pelecehan seksual secara verbal. Dalam pelaksanaannya, semua lapisan masyarakat tentu perlu terlibat untuk mengatasi permasalahan tersebut supaya dapat teratasi sebagaimana mestinya. Perlindungan terhadap korban, sanksi serta merehabilitasi pelaku harus menjadi fokus untuk menjamin kekerasan seksual tidak terulang tanpa unsur kekerasan.